Para
penggagas ideologi “Daulah Islamiyah” atau “Negara Islam” berkeberatan dengan
gagasan sekularisme. Mengapa? Untuk menegakkan sebuah negara Islam yang
berbasiskan syariat, tidak mungkin memisahkan antara pemerintahan dengan agama.
Oleh karena itu, banyak bermunculah fatwa haram terhadap gagasan itu di
negara-negara Islam ataupun negara yang mayoritas penduduknya Muslim, sebut
saja Indonesia.
Para penggagas ideologi “Daulah Islamiyah” ingin merekonstruksi
sebuah tatanan politis-agamis yang diperlihatkan Rasulullah saw.dan para
khalifahnya pada masa itu. Sehingga, banyak bermunculah jargon “Khilafah
Islamiyah” dimana mreka merindukan masa-masa awal dari perjuangan Rasulullah
saw.
Sekarang,
yang jadi pertanyaan adalah: Bagaimana Islam memandang sekularisme secara utuh?
Apakah sekularisme bertentangan dengan Islam atau sebaliknya?
Definisi
Sekularisme
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata sekularisme diambil dari kata sekuler
yang berarti “bersifat duniawi atau kebendaan (bukan bersifat keagamaan atau
kerohanian)”. Dan sekularisme sendiri berarti “paham atau pandangan yang
berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama”.
Terminologi
sekularisme dapat memiliki konotasi yang berlainan tergantung siapa yang
mengadopsi istilah tersebut. Namun, di tengah keragaman makna ini, munculnya
bias dalam merumuskan definisi sekularisme tidak terlalu kentara. Pada intinya,
sekularisme bermakna paham yang memisahkan antara urusan pemerintahan dan
urusan agama.
Hadhrat
Mirza Tahir Ahmad memberikan definisi mengenai sekualarisme dalam sebuah
kesempatan tanya jawab.
“Sekularisme
hanya berati bahwa suatu pemerintahan yang tidak akan memutuskan hal-hal yang
berhubungan dengan keadilah dan perkara kehidupan sehari-hari dari orang-orang
di dalam negara itu, dengan mengambil pandangan dari salah satu kita Tuhan
saja, atau ketentuan agama. Pemerintahan ini hanaya semata-mata akan mengikuti
pada ketentuan yang berhungan dengan kedamaian, ketentraman dan kemakmuran bagi
seluruh masyarakat”
Al-Quran
dan Sekularisme
Dalam
Al-Quran disebutkan:
Yang
berarti bahwa jika kalian menggunakan hak untuk memilih, yaitu amanat, maka
berikanlah kepada orang yang paling dapat mengerjakannya. Dan jika kalian
terpilih dalam pemerintahan, maka memerintahkanlah dengan keadilah yang
sepenuhnya (QS. An-Nisa: 59).
Sekularisme
menurut Al-Quran, tertuju kepada keadilan yang absolut yang tidak bisa ditawar
lagi apakah itu dengan mengatasnamakan agama ataupun kitab suci. Inilah konsep
sekularisme yang telah diajarkan kepada umat manusia. Pada tempat yang lain
keadilan begitu ditekankan. Dikatakan:
“Berbuatlah
adil, karena adil itu lebih dekat dengan takwa” (QS. Al-Maidah: 9).
Anti-Sekularisme
dan Kemaslahatan Umat
Muncul
keberatan terhadap gagasan sekularisme dari para penggagas “Khalifah Islamiyah”
dalam bentuk “Daulah”. Mereka berargumentasi bahwa tanpa menegakkan syariat
Islam (dalam sebuah negara/daulah), maka umat manusia tidak akan dapat mencapai
pengoptimalan kehidupan berbangsa dan bernegara yang bernafaskan nilai-nilai
keagamaan. Mereka mengatakan:
“Pelaksanaan
syariat oleh negara sesungguhnya merupakan perkara yang sudah diketahui
kewajibannya dalam Islam sebagaimana telah diketahuinya kewajiban shalat,
zakat, haji dan sebagainya. Bahkan sejatinya, berdirinya negara dengan segenap
struktur dan wewenangnya dalam kacamata Islam memang adalah untuk menyukseskan
pelaksanaan syariat, sebagai wujud nyata pelaksanaan hidup bermasyarakat dan
bernegara dalam kerangka ibadah kepada Allah swt. Maka perjuangan bagi
penegakan syariat Islam bagi seorang muslim juga merupakan sebuah kemestian.
Diyakini bahwa tidak akan pernah ada kemuliaan kecuali dengan Islam, dan tidak
ada Islam kecuali dengan syariat, serta tidak ada syariat kecuali dengan adanya
daulah.”
Jika
daulah dan syariat menjadi sebuah keniscayaan dalam sebuah negara maka yang
menjadi pertanyaannya adalah syariat versi mana yang harus dipakai? Untuk
sementara, kita lupakan dulu beragamnya agama-agama di dunia berkaitan dengan masalah
ini. Fokus kita sekarang ditujukan kepada kemajemukan golongan yang menamai
diri mereka muslim dan menganggap diri mereka sebagai yang benar.
Sesuai
dengan hadits nabi saw, umat Islam akan terpecah ke dalam 73 golongan. Setiap
golongan memiliki kerangka berpikir masing-masing mengenai syariat Islam.
Mereka membaca dan memahami Al-Quran, sunah dan hadits secara berlainan. Dan
masing-masing golongan memiliki standar hukum tertentu atas suatu pelanggaran
syariat. Kadang-kadang, satu perkara dianggap sebagai satu kejahatan besar oleh
beberapa golongan, tetapi oleh golongan lainnya nampak sebagai satu perbuatan
baik.
Dalam
menanggapi ini, Hadhrat Mirza Tahir Ahmad Memberikan sebuah pandangan:
“Tidak
ada satu pemerintahan pun di dunia yang memiliki kewenangan untuk menyajikan
satu syariat yang memiliki konsep yang disepakati bersaama-sama, di dalam
seluruh dunia Islam. Syariat tidak boleh berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan yang
terjadi itu adalah buatan orang-orang, karena jika demikian maka Tuhan itu tidak
ada. Ini bukanlah isu kecil yang memiliki kaitan emosional dengan undang-undang
Islam, sama sekali bukan begitu. Tetapi berupa isu kecil yang harus diputuskan
bagaimana dapat memberikan dedikasi yang terbaik untuk Islam.
Jika
kalian mengikuti yang demikian, maka kenyataannya, kalian akan memiliki syariat
buatan manusia “man-made syariah” yang dibuat dengan mengatas-namakan Tuhan.
Karena dalam syariat Tuhan yang benar tidak boleh terjadi kontradiksi, setiap
aturan dan perintah dari syariat harus konsisten dengan aturan dan perintah
lainnya dari syariat. Sekali terjadi kontradiksi, maka seluruh syariat akan
tenggelam di laut dan segala konsep “Ketuhanan” akan terbuang.”
Dalam
argumentasinya, malahan Gusdur mengutip argumentasi Ali Abdel Razik yang merubuhkan
konsep negara Islam.
Yaitu,
pertama Al-Quran tidak pernah menyebut-nyebut sebuah “negara islam” (Daulah
Islamiyah), kedua, tidak pernah ada doktrin dan perilaku Nabi Muhammad sendiri
yang meperlihatkan watak politik tetapi moral. Ketiga, Nabi tidak pernah
merumuskan secara definitif mekanisme penggantian jabatannya.
Kalau
memang Nabi menghendaki berdirinya negara Islam, mustahil masalah suksesi
kepemimpinan dan peralihan kekuasaan tidak dirumuskan secara formal. Nabi, Cuma
memerintahkan “bermusyawarahlah kalian dalam persoalan...” Masalah sepenting
ini bukannya dilembakan secara konkret, melainkan dicukupkan dengan sebuah
diktum saja, yaitu “masalah mereka (haruslah) dimusyawarahkan antara mereka.”
No comments:
Post a Comment